Ikhlas Dalam Beristighfar (Memohon Ampun)
KEUTAMAAN IKHLAS DALAM BERAMAL(4/5)
20. Ikhlas dalam beristighfar (memohon ampun)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
سَيِّدُ اْلإِسْتِغْفَارِ أَنْ يَقُوْلَ الْعَبْدُ: اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لاَ إِلـهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوءُ بِذَنْبِي فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ.
“Istighfar yang paling utama adalah jika seorang hamba mengucapkan, ‘Ya Allah, Engkau adalah Rabb-ku, tidak ada Rabb yang berhak untuk diibadahi kecuali Engkau, Engkaulah yang telah menciptakanku, aku adalah hamba-Mu, aku akan setia pada perjanjianku kepada-Mu semampuku, aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan yang aku perbuat, aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku, oleh karena itu, ampunilah aku, sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau.’ Barangsiapa mengucapkannya di pagi hari dengan yakin, lalu ia meninggal pada hari itu sebelum masuk waktu sore, maka ia termasuk penghungi Surga, dan barangsiapa mengucapkannya di waktu petang dengan yakin kemudian ia meninggal sebelum masuk waktu pagi, maka dia termasuk dari penghuni Surga.” [HR. Bukhari].
21. Ikhlas dalam menangis
Telah diungkapkan di dalam hadits yang terdahulu, yaitu hadits tujuh golongan orang yang mendapatkan naungan dari Allah pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan dari-Nya, di dalam hadits tersebut diungkapkan:
وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
“Dan seseorang yang berdzikir kepada Allah secara menyendiri, lalu air matanya berlinang.”
22. Ikhlas dalam berdzikir, sebagaimana yang diungkapkan dalam hadits terdahulu
23. Ikhlas dalam berkata yang benar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنْ تَصْدُقِ اللهََ يَصْدُقْكَ
“Jika engkau membenarkan Allah, maka Allah akan membenarkanmu.”1
24. Ikhlas dalam bersabar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَقُولُ اللهُ تَعَالَى: مَا لِعَبْدِي الْمُؤْمِنِ عِنْدِي جَزَاءٌ إِذَا قَبَضْتُ صَفِيَّهُ مِنْ أَهْلِ الدُّنْيَا ثُمَّ احْتَسَبَهُ إِلاَّ الْجَنَّةُ.
“Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Tidaklah hamba-Ku yang beriman ketika kekasihnya dari penduduk dunia Aku cabut nyawanya kemudian dia tulus dalam menghadapinya kecuali Allah akan mem-balasnya dengan Surga.’”2
عَنْ عَائِشَةَ رضی اللّٰہُ عنھا ، أَنَّـهَاسَأَلَتْ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الطَّاعُونِ فَأَخْبَرَهَا أَنَّهُ عَذَابٌ يَبْعَثُهُ اللهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ وَأَنَّ اللهَ جَعَلَهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ، لَيْسَ مِنْ أَحَدٍ يَقَعُ الطَّاعُونُ فَيَمْكُثُ فِي بَلَدِهِ صَابِرًا مُحْتَسِبًا يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ يُصِيبُهُ إِلاَّ مَا كَتَبَ اللهُ لَهُ، إِلاَّ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ شَهِيدٍ.
“Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha, sesungguhnya beliau bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang penyakit tha’un, lalu Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepadanya bahwa itu merupakan adzab yang dikirimkan kepada siapa saja yang dikehendakinya, dan menjadikannya sebagai rahmat bagi orang-orang yang beriman, maka tidaklah seorang hamba tertimpa tha’un tersebut, lalu dia berdiam di negerinya dengan sabar dan mengharap-kan ganjaran dari Allah serta mengetahui bahwa tidaklah ada sesuatu akan menimpanya kecuali dengan ketentuan-Nya, melainkan dia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mati syahid.”3
25. Ikhlas dalam bertawakkal
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seseorang dari Bani Israil meminta kepada yang lainnya dari kalangan Bani Israil juga agar dia dapat meminjamkan uang kepadanya sebanyak seribu dinar, dia (yang meminjamkan) berkata, ‘Datangkanlah kepadaku para saksi, yang akan aku jadikan sebagai saksi,’ lalu orang itu berkata, ‘Cukuplah Allah sebagai saksi,’ lalu dia berkata lagi, ‘Datangkanlah kepadaku seorang penjamin!’ Dia berkata, ‘Cukuplah Allah sebagai penjamin,’ lalu dia berkata, ‘Benarlah apa yang engkau ucapkan.’ Lalu dia memberikannya dengan jarak waktu yang telah ditentukan, lalu orang tersebut pergi mengarungi lautan untuk memenuhi kebutuhannya. Kemudian dia mencari kapal untuk pergi menuju orang yang memberikan hutang kepadanya karena waktu yang ditentukan telah tiba, akan tetapi dia sama sekali belum menemukan kendaraan tersebut. Akhirnya dia mengambil sebatang kayu dan melubanginya, di dalamnya dia menyimpan uang sebanyak seribu dinar dengan satu lembar surat untuk sang pemilik uang, lalu dia meratakan (menutup) lubang tersebut. Setelah itu dia pergi ke laut dengan berkata, ‘Ya Allah! Engkau Mahatahu bahwa aku meminjam uang kepada si fulan sebanyak seribu dinar, lalu dia meminta orang yang menjamin kepadaku, sedangkan aku berkata, ‘Cukuplah Allah sebagai penjamin.’ Dan ia pun ridha kepada-Mu, lalu dia meminta seorang saksi kepadaku, sedangkan aku berkata, ‘Cukuplah Allah sebagai saksi.’ Maka ia pun ridha kepada-Mu dan sungguh aku telah berusaha untuk mencari sebuah kapal untuk membayar hutang ini kepadanya tetapi aku tidak menemukannya, dan sesungguhnya aku menitipkannya kepada-Mu.’ Akhirnya dia melemparkan kayu tersebut ke lautan, sehingga kayu tersebut menghilang dan dia pun pergi. Pada waktu itu dia sedang mencari sebuah kapal yang dapat mengantarkannya pulang ke negerinya, sedangkan orang yang meminjamkan uang pun sedang keluar untuk melihat sebuah kapal yang membawa hartanya, dan tiba-tiba saja dia menemukan sebatang kayu yang di dalamnya ada harta, lalu dia mengambilnya untuk dijadikan sebagai kayu bakar, ketika dia membelahnya dia menemukan uang dan sepucuk surat. Tak lama kemudian orang yang meminjam uang datang dengan membawa uang sebanyak seribu dinar, dia berkata, ‘Demi Allah! Senantiasa aku mencari sebuah kapal untuk membawa uang kepadamu, sama sekali aku tidak mendapatkannya sebelum kapal yang aku tumpangi sekarang ini tiba.’ Lalu dia berkata, ‘Apakah kamu mengirim sesuatu kepadaku?’ Dia berkata, ‘Aku telah memberitahukan kepadamu bahwa aku sama sekali tidak menemukan kapal sebelum kapal yang aku tumpangi sekarang ini,’ dia berkata, ‘Sesungguhnya Allah telah melunasi melalui kayu yang telah engkau utus.’ Maka orang tersebut berlalu dengan membawa uang seribu dinar tersebut dengan senang!”4
26. Ikhlas dalam mencintai seseorang
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَجِدَ حَلاَوَةَ اْلإِِيْمَانِ فَلْيُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ ِللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Barangsiapa yang ingin merasakan manisnya iman, maka cintailah seseorang, dengan cinta yang hanya berdasarkan kepada kecintaannya kepada Allah.”5
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
أَنَّ رَجُلاً زَارَ أَخًا لَهُ فِي قَرْيَةٍ أُخْرَى فَأَرْصَدَ اللهُ لَهُ عَلَى مَدْرَجَتِهِ مَلَكًا فَلَمَّا أَتَى عَلَيْهِ قَالَ: أَيْنَ تُرِيدُ قَالَ: أُرِيدُ أَخًا لِي فِي هَذِهِ الْقَرْيَةِ قَالَ: هَلْ لَكَ عَلَيْهِ مِنْ نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا عَلَيْهِ؟ قَالَ: لاَ غَيْرَ أَنِّي أَحْبَبْتُهُ فِي اللهِ عَزَّ وَ جَلَّى قَالَ: فَإِنِّي رَسُولُ اللهِ إِلَيْكَ بِأَنَّ اللهَ قَدْ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتَهُ فِيهِ
“Seseorang mengunjungi saudaranya di kampung lain, lalu Allah mengutus seorang Malaikat di jalannya. Ketika dia datang kepadanya, dia berkata, ‘Kemana engkau akan pergi?’ Dia berkata, ‘Aku ingin mengunjungi saudaraku yang ada di kampung ini.’ Lalu Malaikat itu bertanya, ‘Apakah engkau memperoleh sebuah nikmat yang menyebabkan engkau pergi kepadanya?’ Dia menjawab, ‘Tidak, hanya saja aku mencintainya karena Allah Azza wa Jalla.’ Lalu Malaikat itu berkata, ‘Aku adalah utusan Allah kepadamu (datang untuk menyampaikan) bahwasanya Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintai saudaramu karena-Nya.’”6
27. Ikhlas ketika berkunjung di jalan Allah
Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam hadits terdahulu.
28. Ikhlas dalam ketaatan kepada kedua orang tua
Hal ini sebagaimana diungkap dalam hadits terdahulu yang menceritakan tiga orang yang tertutup batu di dalam gua, mereka semua berdo’a dengan amal shalih mereka, di antara mereka ada yang berkata dalam do’anya, “Ya Allah! Dahulu aku memiliki dua orang tua yang telah lanjut usia, dan aku sama sekali tidak pernah memberikan susu kepada isteri dan anak-anak sebelum mereka berdua. Lalu pada suatu hari aku berada jauh dari mereka berdua untuk mencari sebuah pohon, aku tidak kembali sehingga mereka tertidur, lalu aku memeras susu untuk mereka padahal mereka telah tertidur, aku takut jika membangunkan keduanya dan aku juga tidak mau memberikan susu kepada isteri dan anak-anak sebelum mereka berdua meminumnya. Akhirnya aku menunggu sampai terbit fajar sedangkan anak-anak berteriak di sekitarku karena kelaparan, lalu ketika terbit fajar mereka berdua bangun dan meminum susu. Ya Allah! Seandainya aku melakukan hal itu ikhlas karena-Mu, maka bukakanlah batu besar yang telah menutupi kami.”
29. Ikhlas dalam meninggalkan kemunkaran
Hal ini pun diungkap dalam hadits yang bercerita tentang tiga orang yang tertutup oleh batu di dalam gua, ketika seseorang dari mereka telah duduk di atas kedua kaki puteri pamannya, sang puteri berkata, “Bertakwalah kepada Allah dan janganlah engkau menghilangkan keperawanan orang lain kecuali dengan cara yang benar.” Akhirnya orang itu pergi padahal dia (puteri pamannya-ed.) adalah wanita yang paling dicintainya. Dia berkata. “Ya Allah, seandainya aku melakukan hal itu ikhlas karena-Mu, maka bukakanlah batu yang telah menutupi kami.” Akhirnya batu tersebut bergeser sedikit.”
[Disalin dari buku “IKHLAS: Syarat Diterimanya Ibadah” terjemahkan dari Kitaabul Ikhlaash oleh Syaikh Husain bin ‘Audah al-‘Awayisyah. Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit PUSTAKA IBNU KATSIR Bogor]
_____
Footnote
1 HR. An-Nasa-i dan al-Hakim di dalam Mustadrak, hadits ini terdapat di dalam Shahiihul Jaami’ (no. 1428).
2 HR. Al-Bukhari.
3 HR. Al-Bukhari.
4 HR. Al-Bukhari.
5 HR. Ahmad dalam Musnadnya, dan al-Hakim, hadits ini terdapat dalam kitab Shahiihul Jaami’ (no. 6164).
6 HR. Muslim.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3539-ikhlas-dalam-beristighfar-memohon-ampun.html